Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Celoteh

Peringatan Darurat #Agustus2024

  Bisa juga ternyata, para pejabat kita kerja secara cepat dan responsif. Tapi kenapa pilih-pilih? Atau mungkin ini awal yang bagus, tinggal dialihkan saja dari pekerjaan yang kurang baik menjadi pekerjaan-pekerjaan yang baik? Tapi, rasanya kok.. Ah, padahal 21 tahun lagi Indonesia Emas. Jangan-jangan yang dimaksud bukan Indonesia Emas, tapi emasnya Indonesia yang ingin dimiliki oleh para elit itu. Yang saat ini mati-matian mempertahankan kekuasaan?

Humor Gus Dur Ketika di Qatar

Satu waktu, Gus Dur menyampaikan pidato dalam bahasa Inggris. Ada seorang penerjemah yang membantu untuk men translate. Waktu itu Gus Dur menyelipkan humor yang panjang lebar. Hadirin tertawa terbahak-bahak. Namun Gus Dur heran, kok terjemahannya dikit? Setelah pidato, Gus Dur pun nyamperin si penerjemah. Ia menanyakan kenapa kok terjemahannya kayak gitu? Mendapat pertanyaan itu, sang penerjemah dengan santuy menjawab; "Ya, saya hanya bilang, Presiden Abdurrahman Wahid ini sedang melucu. Harap semua hadiri tertawa." Kisah ini dimuat dalam buku Ger-geran Bersama Gus Dur (Hamid Basyaib & Fajar W. Hermawan).

Desaku

Ada apa dengan desaku ini, Pragmatisme sudah merajalela melebihi orang-orang kota. Kenapa dengan desaku ini, Politik dinasti dijalankan seolah tidak mau kalah dengan para elit. Bagaimana dengan desaku ini, Tidak lebih asri dari apa yang seharusnya ada pada desa.

Manis

Memang, aku adalah anak muda yang termakan kata-kata manis para politisi. Tapi tak apa, aku tidak menyesalinya. Dari sana, aku ingin menjadi sepertinya. Sejadinya, aku tak ingin menjadi sepertinya.

Keluarga Mana Yang Kau Sebut?

Tidak ada musuh abadi ataupun teman sejati karena semua hanyalah adu domba semata. Aku lebih baik meninggalkan rumah, tak apa menjadi gelandangan daripada harus satu atap, satu wadah, satu lingkungan, satu organisasi, satu komunitas, atau bahkan satu himpunan yang mana orang-orang didalamnya tidak pernah peduli pada anggota keluarganya sendiri. Lihatlah, mereka yang bekerja dengan ikhlas, mewakafkan diri untuk berbakti, memenuhi tanggung jawab yang telah di amini. Bukankah mereka juga sama denganmu dan bukankah kamu juga bersama mereka, ketika ikrar setia? Tapi mengapa kamu tega meninggalkannya, membiarkannya sendiri menyusuri jalan sunyi. Padahal kamu tahu jalan itu sangat panjang dengan halang rintang yang begitu terjal, melewati hutan yang mencekam, sungai yang dalam, serta gunung-gunung yang akan terasa berat untuk didaki sendirian.

Asap Masih Mengepul Dari Mulutnya

Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, bulan bersinar lebih terang dari biasanya, bintang juga lebih banyak dari biasanya, sampai suasana pun lebih hening dari biasanya. Di depan sebuah warung kopi, duduk dua orang sahabat, ditemani rokok surya dan dua cangkir kopi. Tanpa suara, hanya kepulan asap yang keluar dari mulut mereka. Lagu dari Slank yang sedang diputar mengiringi; berjudul 'Terbunuh Sepi'. "Berat ya..?" Ucap salah satu diantara mereka memecah keheningan. "Apanya yang berat?" Tanya sahabat yang duduk di sampingnya, menanggapi. "Mengambil keputusan atas dasar beberapa pertimbangan, diantaranya mengenai manfaat juga mudharat. Semua pilihan pasti ada resiko, termasuk akan adanya pihak yang merasa dikecewakan, dan itu adalah hal yang wajar. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mau terus dipikirkan atau bergerak untuk perubahan?" Jelasnya.. "Iya, berat memang.." balas sahabatnya singkat. Mereka kembali terdiam, suasana kemba...

Tak Apa

Tak apa kamu lebih memilih akademik dan takut meninggalkan bangku kuliah. Tapi paling tidak dik, seminimalnya kamu adalah mahasiswa, gunakanlah satu dari tiga toleransi alpa mu untuk turut serta turun ke jalan. Turut serta berjuang bersama rakyat, kamu rasakan panasnya jalanan, membersamai mereka yang hak-hak nya dirampas oleh negara. Kamu rasakan betapa susahnya, letihnya, kerasnya perjuangan yang dilakukan oleh rakyat, kita yang harus membersamai mereka dan membantu menyuarakannya.

Seekor Angsa yang Malang

Suatu hari, di sebuah hutan belantara tinggal seekor angsa yang tidak memiliki siapa-siapa. Orang tuanya, saudara-saudaranya, dan teman-temannya telah mati karena kejadian dua bulan yang lalu. Kebakaran hutan yang sangat dahsyat akibat ulah manusia yang membuka lahan secara ilegal. Serakah memang manusia itu, tidak peduli pada alam yang di sana terdapat juga kehidupan. Saat ini, di hutan yang sangat luas, hutan yang dulunya rindang, tidak ada lagi kehidupan. Hanya tinggal sang angsa yang entah mampu bertahan sampai kapan. Menjelang malam, perut Angsa keroncongan, sudah tiga hari belum makan. Tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa karena ia hanya sendiri. Niat hati ingin mencari sungai, berharap masih ada ikan yang hidup di sana untuk dimakan. Langkah kaki terus diayunkan dengan pandangan kosong dan dengan kepala yang tidak bisa berhenti berpikir, dengan air mata yang terus mengalir, serta dengan harapan-harapan yang mulai sirna. Kurang lebih setengah jam berjalan, akhirnya sampai ...

Satu Kereta, Beda Gerbong

Stasiun Tawang adalah titik pemberangkatan yang sudah kita sepakati. Kamu bilang terserah mau naik gerbong yang mana, toh tujuannya sama. Kita mengambil gerbong yang berbeda akhirnya. Lima belas menit menunggu kereta bergerak meninggalkan pemberhentian. Sesampainya di stasiun kota tujuan kita pun sama-sama turun, mampir di warung kopi untuk sejenak melepas penat; kita berbagi cerita di perjalanan. Aku; merasa puas dengan perjalananku, merasa nyaman bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan. Bercengkerama asyik dan saling tukar pengalaman. Mendapatkan pengetahuan baru, kawan baru, serta pengalaman baru menjadikan perjalananku tak terasa lama. Sedangkan, Kamu; bisa aku tebak adalah sebaliknya. Benar saja, kau terlihat kusut dan emosi karena dalam perjalanan kau bertemu dengan emak-emak yang sering marah-marah, anak kecil yang terus menangis, lelaki besar yang keringatnya tidak sedap, dan tidak ada yang mengajakmu berbicara. Kau merasa sangat jenuh, bosan, dan kecewa akan perjal...